8:58 AM

Kita adalah Penatalayan pada Rumah yang Sama

Lingkungan Hidup

Pendahuluan

Pada tahun 2007 ini, gerakan penyadaran tentang pemanasan global mulai gencar dilakukan oleh banyak pihak. Salah satu upaya signifikan yang ada adalah pembuatan film dokumenter berjudul An Inconvenient Truth yang diinspirasi oleh perjuangan Albert Gore, Jr. - mantan wakil presiden Amerika Serikat - dalam mengingatkan dunia akan dampak pemanasan global.1 Diberi judul demikian, karena film dokumenter itu berisi fakta-fakta kebenaran yang menggelisahkan tentang "nasib" bumi di masa yang akan datang.

Dunia boleh menganggap terorisme sebagai musuh terbesar saat ini. Tapi sesungguhnya, musuh terbesar dunia - menurut film tsb. - adalah berbagai bencana yang ditimbulkan oleh pemanasan global. Gejala-gejala ke arah tersebut sudah mulai tampak beberapa tahun terakhir ini:

• Salju di pegunungan Kilimanjaro (Afrika) dan berbagai gletser di sejumlah negara (seperti: Grinnel, Boulder, dan Columbia di Amerika Serikat; AX010 di Kilimanjaro, Nepal; Adamello Mandron di Italia; Tschierva dan Rhone di Swiss; serta beberapa gletser lainnya di Peru dan Argentina) sudah menipis.

• Naiknya temperatur air laut telah menimbulkan sejumlah badai topan: topan Jeanne dan Ivan di Florida serta topan Frances di Laut Atlantik (September 2004), sejumlah topan di perairan Jepang (2004), topan Emily di Karibia-Brasil dan topan Dennis di Florida (Juli 2005), serta topan Katrina di California (Agustus 2005).

• Sementara di beberapa bagian dunia terjadi badai topan dan banjir, di beberapa bagian dunia lainnya justru terjadi kekeringan, seperti: Darfur - Sudan dan Nigeria. Situasi seperti ini juga terjadi di Indonesia.-Bulan Juli lalu, hujan masih mengguyur sejumlah wilayah di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, Tetapi kekeringan mulai terjadi di beberapa wilayah Pulau Jawa.

Atau, harian Kompas, pada beberapa edisi di bulan Juli dan Agustus yang lalu, melaporkan berbagai dampak pemanasan global pada anomali iklim yang tengah terjadi, sbb.:

• Cuaca ekstrem telah melahirkan berbagai bencana (seperti: badai, banjir, dan tanah longsor) di China, Jepang, India, Banglades, Nepal, Filipina dan Indochina. Hal ini perlu disikapi secara serius, sebab sebagian besar dari negara-negara tersebut, selama ini telah menjadi sentra produksi beras.

• Banjir besar juga terjadi di sejumlah wilayah Inggris, Swiss dan Sudan.

• Gelombang udara panas kembali terjadi di beberapa wilayah Eropa. Situasi yang sama pernah terjadi beberapa tahun yang lalu di Argentina dan Amerika Serikat.

• Air sejumlah waduk di Indonesia mulai menyusut dan sumber-sumber air bersih pun mulai mengering.

Buletin Pembinaan kali ini bisa juga dipahami sebagai bagian integral dari upaya penyadaran akan bahaya pemanasan global. Sekalipun perlu disadari bahwa apa yang akan dipaparkan pada buletin ini belum bisa menyentuh seluruh aspek yang terkait dengan lingkungan hidup.

Komunitas Bumi dalam krisis dan Upaya Penyadaran

Komunitas bumi dalam krisis. Tidak ada yang bisa menyanggah pernyataan dan kenyataan tersebut. Selain konflik dan peperangan, krisis yang mengancam lebih banyak orang adalah krisis lingkungan hidup.

Krisis ini sebenarnya sudah lama terjadi, namun agaknya manusia (secara keseluruhan) belum menyadari akan bahaya laten yang terdapat di dalamnya. Manusia masih asyik menjadi penguasa alam semesta 2, belum menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta ini, sehingga krisis lingkungan hidup belum menjadi perhatian bersama.
Padahal, dari berbagai definisi tentang lingkungan hidup yang ada, kita diingatkan bahwa lingkungan hidup adalah bagian dari kita dan kita adalah bagian dari lingkungan hidup; dan keduanya saling berinteraksi dalam sebuah ekosistem.

Secara umum, krisis lingkungan hidup didorong oleh dua hal berikut ini, yaitu:

a. Pertambahan penduduk yang begitu pesat yang menuntut pemenuhan kebutuhan yang tak terbatas (bahan makanan, bahan bakar, energi, dsb).

b. Kemajuan di pelbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) 3
Kesadaran akan perlunya usaha pelestarian lingkungan tidak muncul sekali jadi. Kesadaran itu muncul berangsur-angsur melalui pengalaman interaksi manusia dengan lingkungannya.

Manusia semakin menyadari bahwa antara dirinya dan lingkungannya terdapat hubungan yang sangat erat tak terpisahkan. Kesadaran itu akhirnya melahirkan suatu disiplin ilmu yang baru, yang disebut ekologi. Perhatian akan masalah lingkungan hidup di zaman modern ini dimulai pada dasawarsa 50-an di Amerika Serikat ketika terjadi pencemaran di kota Los Angeles akibat smog (smoke fog) hasil pembakaran industri dan kendaraan bermotor. Pada dasawarsa yang sama masyarakat Jepang digemparkan oleh peristiwa pencemaran limbah merkuri (Hg) di Teluk Minamata yang memakan korban ribuan jiwa. Lama-kelamaan perhatian akan krisis lingkungan hidup ini menjadi keprihatinan masyarakat dunia secara bersama, termasuk di Indonesia - yang baru muncul pada dekade 60-an.4

Salah satu pokok yang ramai diperdebatkan dalam gerakan kesadaran ekologi ini ialah hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup.5 Ada yang menuduh pembangunan sebagai penyebab terjadinya kerusakan lingkungan. Tetapi ada juga yang mengatakan sebaliknya, kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi melalui pembangunan, sehingga kalangan ini (negara-negara industri maju) menuduh negara-negara yang sedang berkembang sebagai penyebab terjadinya pemanasan global.6

Di Indonesia sendiri, persoalan krisis lingkungan hidup merupakan persoalan yang aktual dan potensial, tetapi belum menjadi perhatian bersama. Pembangunan yang sekarang sedang berlangsung, seolah-olah merupakan hal yang terpisah dengan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini dapat terlihat dari masih adanya perusahaan industri yang tidak mematuhi tata cara pembuangan limbah yang berlaku. Atau pembangunan perumahan di kota yang tidak sesuai dengan Tata Ruang Kota, sehingga menimbulkan keruwetan tersendiri bagi pemerintah kota.7

Manusia dan Komunitas Bumi: pola-pola yang dikembangkan

Terjadinya krisis lingkungan hidup saat ini tentunya tidak terlepas dari bagaimana manusia berelasi dengan lingkungannya. Relasi ini pun ternyata mengalami perkembangan sejak keberadaan manusia.

Pada awalnya, ketika agama-agama primitif masih berkembang, manusia memandang segala sesuatu yang ada di sekitarnya secara religius. Ada proses pensakralan terhadap lingkungan hidup, sehingga pola yang dikembangkan adalah subjek-subjek. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat yang masih tradisional, di mana masih ada tabu-tabu (pamali-pamali) yang dikembangkan.8 Selain itu pandangan hidup dan sikap religius yang dikembangkan berdasarkan pengalaman eksistensial mereka, turut menumbuhkan kesadaran ekologis mereka.9

Akan tetapi ketika terjadi proses desakralisasi yang ditunjang dengan tumbuh-berkembangnya agama monoteis, maka lingkungan hidup tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral atau sebagai subjek, tetapi objek.10 Saat itulah manusia mulai menjadi penguasa atas lingkungan hidup dan kini kita diperhadapkan pada krisis lingkungan hidup yang parah.

Th. van den End memberikan argumentasi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh mengenai dari mana datangnya krisis yang sedang kita alami ini dikaitkan dengan kekristenan, yaitu:11

a. Menurut Lynn White, kekristenan dipersalahkan karena menempatkan manusia pada pusat dunia, karena sifat anthroposentrisnya. Kekristenan membuat manusia percaya bahwa dirinya merupakan pusat alam semesta, dan bahwa seluruh alam hanya diciptakan untuk melayani dia.12

b. Menurut Ritchie Lowrie, Calvinisme harus dipersalahkan karena mengajak manusia untuk bekerja keras dan untuk hidup sederhana. Akibatnya tak bisa tidak adalah pertumbuhan ekonomi yang besar. Timbullah dunia perindustrian modern dan terjadilah krisis lingkungan.

c. Theodore Roszak, bertolak dari pengertian "teknokrasi". Teknokrasi berarti bahwa kehidupan manusia dan seluruh lingkungannya mau diatur oleh teknik dan ilmu-ilmu pengetahuan. Tidak boleh ada proses-proses spontan, karena yang bersifat spontan tidak bisa diperhitungkan sebelumnya, dan membahayakan tujuan yang besar, yaitu menaklukkan dunia kepada manusia dan menghasilkan produksi barang-barang yang sebesar mungkin. Dengan adanya sikap ini, manusia memandang segala sesuatu di sekitarnya, termasuk sesamanya manusia, sebagai obyek semata-mata; ia tidak berpartisipasi di dalam kehidupan di sekitar dirinya, ia menjadi terasing daripadanya. Roszak juga mempermasalahkan agama Kristen yang menempatkan manusia dalam relasi subjek-objek dengan alam, dan menganggap alam sebagai kurang sempurna dan perlu diperbaiki.

Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa seolah-olah kekristenan turut bersalah atas kerusakan lingkungan hidup. Hal ini tentunya harus dikritisi lebih lanjut. Karena jangan-jangan, "kekristenan" telah salah dalam menafsirkan Alkitab ataupun telah dipengaruhi oleh tujuan-tujuan politis dan ekonomis, sehingga dikatakan turut merusak lingkungan hidup. Selain itu, di bagian dunia yang minoritas Kristen, toh terjadi juga krisis lingkungan hidup. Artinya, ada berbagai faktor penyebab dari krisis yang terjadi.

Lagipula, jika kita memahami secara utuh berita Alkitab tentang lingkungan hidup, maka sebenarnya kekristenan memiliki sumbangsih yang besar dalam pelestarian lingkungan hidup.

Pandangan Alkitab tentang Lingkungan Hidup


Untuk mengetahui pandangan Alkitab tentang lingkungan hidup, maka pertama-tama yang harus kita miliki adalah pemahaman yang benar mengenai Alkitab sebagai sumber teologi kita. Alkitab yang merupakan Firman Allah tersebut, bukanlah sebuah buku ilmiah mengenai asal-usul bumi dan segala sesuatu di dalamnya, bukan pula buku sejarah bumi.13 Alkitab adalah buku iman akan Allah yang telah menciptakan, memelihara dan menyelamatkan bumi dan segala isinya. Walaupun Alkitab bukan buku tentang ekologi, sejumlah penulisnya telah melukiskan ekologi manusia dan mengangkat keadaan dan gejala alam dalam hubungan dengan Firman Tuhan. Keberadaan segala ciptaan terkait dengan Tuhan Pencipta.14

a. Pandangan Perjanjian Lama (PL)

Dalam PL, ada dua kitab yang secara khusus berbicara tentang alam semesta, yaitu Kitab Kejadian dan Mazmur. Tujuan mula-mula dari cerita dalam Kitab Kejadian ialah untuk memberi makna kepada dunia yang dipahami sebagai kekacaubalauan.15 Pengarang kitab ini mengaitkan pengalaman hidupnya dari kawasan lingkungannya dengan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan ilahi Israel sebagai bangsa yang telah dijanjikan tanah khusus.16

Sorotan kitab ini adalah pada tindakan keteraturan Yahweh. Tatanan kosmik dikaitkan dengan tatanan moral dan social:

ketidakteraturan moral, kekerasan, air bah. Perhatian bagian Kitab Suci khususnya terpusat pada tatanan kosmos dan bukan pada penggalian asal-muasal kosmos.17
Penulis ini tidak memandang kekuasaan manusia atas makhluk ciptaan lain sebagai kuasa tak terbatas, namun di hadapan mata Tuhan makhluk ciptaan nonmanusia dan manusia diandaikan untuk membentuk suatu komunitas makhluk ciptaan, dan di dalam komunitas itu manusia bertanggung jawab.18 Jadi ciptaan nonmanusia itu tidak diberikan kepada manusia untuk dikuasai, tetapi untuk manusia kelola dan pelihara.
Dalam Kitab Mazmur, kosmos digambarkan sebagai buah tangan Tuhan (misalnya Mzm 19). Langit, termasuk bintang-bintang, mengidungkan kemuliaan Allah dan memberikan kesaksian karya Pencipta. Kosmos bukan sekadar undangan untuk percaya akan Allah Pencipta, namun termasuk desakan untuk terus-menerus memuji kebesaran Tuhan melalui doa. Mazmur 104 kembali mengumandangkan pandangan kontemplatif tentang penciptaan alam semesta dalam Kejadian 1 dengan menampilkan unsur-unsur alam. Dalam Mazmur 136 kita dapat melihat bahwa dunia dan sejarahnya adalah karya cinta kasih Allah yang menakjubkan. Tampak bahwa doa-doa bangsa Israel melalui mazmur mencerminkan kedekatan hidup mereka dengan makhluk ciptaan.19

b. Pandangan Perjanjian Baru (PB)

Dalam dunia Yunani, kosmos adalah tatanan organisme dalam ketenangan. Sementara itu, gagasan kosmos dalam PB terorientasi pada hidup manusia dalam sejarah. PB mempertimbangkan kosmos dalam kaitan dengan Yesus Kristus (bercorak kristologis) dan manusia di hadapan Yesus Kristus (bercorak antropologis).20 Gambaran tentang kosmos dalam PB dipandang sebagai sarana untuk pewartaan Injil. Maksudnya, PB tidak berbicara tentang kosmos dalam dirinya, sebagai benda belaka, namun pembicaraan tentang kosmos dikaitkan dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukan sesuatu secara bertanggung jawab. Pada dasarnya terdapat suatu konsep antroposentris dunia: dalam cara tertentu, dunia berubah bersama sejarah manusia.21
Untuk mengubah atau membebaskan dunia, umat Allah harus melakukan tindak pembaruan hati dan dengan tingkah laku yang sesuai dengan kehendak Allah. Ini tidak hanya menyangkut pembaruan batiniah individual, tetapi melahirkan komunitas ciptaan baru, yaitu umat Allah.22

Ekologi dan Ekumene


Gereja selaku persekutuan orang percaya tidak hanya bertanggung jawab untuk mewujudkan persekutuan di antara sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungan.23 Selama ini ekumene hanya dimengerti sebagai hubungan interdenominasi gereja, padahal arti kata oikos menunjuk pada bumi sebagai tempat tinggal (habitat). Habitat adalah inti makna dari semua kata eko; ekonomi, ekologi, dan ekumenesitas.24

Oleh karena itu, tujuan ekumene tidak bisa lagi terbatas pada usaha pembentukan Gereja Kristen yang Esa atau menciptakan hubungan yang harmonis di antara orang Kristen, tetapi harus menjangkau wawasan yang lebih luas, sesuai dengan arti dan makna yang terkandung dalam kata ekumene, yaitu dunia atau kosmos ini secara keseluruhan, khususnya hubungan dengan seluruh ciptaan.25 Ted Peters membedakan antara kata ecumenical dan kata ecumenic, yang akar katanya sama yaitu oikos, tetapi maknanya berbeda. Kalau ecumenical berbicara tentang kesatuan iman, maka ecumenic berbicara tentang kesatuan manusia dengan segala sesuatu yaitu dengan semua realitas ciptaan Allah. Akan tetapi, keduanya mempunyai hubungan sebab kesatuan iman harus mempunyai implikasi terhadap kesatuan dengan seluruh ciptaan.26

Banyak tradisi keagamaan, termasuk Yudaisme dan Kekristenan, memahami inti penciptaan sebagai tempat tinggal Allah di dalamnya. Ciptaan adalah tempat kehadiran Allah. Jadi, kata oikos menunjuk pada rumah tempat kehadiran dan kediaman Allah. Allah ada "rumah" di sini, sebagaimana kita,27 Jadi dalam mengelola alam, maka kita harus sejalan dengan Ekonomi Allah.28 Kita adalah rekan sekerja Allah (householders) dalam menatalayani (oikodomeo) dunia.29 Di sinilah peran gereja mendapat tempat30, karena gereja karena gereja merupakan bagian dari earth habitat. Sebagai bagian darinya, maka gereja terpanggil untuk terlibat aktif dalam kesatuan dengan bagian-bagian lain dari earth habitat.

Jika keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus dipahami sebagai keselamatan untuk seluruh ciptaan, maka gereja terpanggil tidak hanya untuk menyatakan koinonia dengan sesamanya manusia, tetapi juga dengan sesama ciptaan. Ted Peters juga mengingatkan bahwa gereja harus melaksanakan pendamaian dalam rangka menghadirkan Kerajaan Allah. Dan sejalan dengan hal ini, Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) memahami pendamaian dan pembaruan ciptaan sebagai tujuan dari misi gereja.31

Sudah sejak tahun 1968 dalam Sidang Raya IV DGD di Upsala, Swedia, DGD membahas perhatian dan tanggung jawab gereja-gereja terhadap lingkungan hidup. Sedangkan, di Indonesia sendiri, baru dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989, dikukuhkan secara eksklusif pengertian pemberitaan Injil yang mencakup usaha pelestarian lingkungan hidup. Selain sebagai bagian dari tugas pemberitaan Injil, tugas pengelolaan dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu dasar bagi gereja-gereja di Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional.32

Bagi gereja-gereja di Indonesia, terdapat suatu permasalahan tersendiri dalam usahanya untuk menjadi penatalayan dunia. Pertama, gereja-gereja di Indonesia masih terkotak-kotakan dalam berbagai denominasi, di mana masing-masing denominasi memiliki concern tersendiri. Kedua, konsep ecumenic sendiri belum begitu populer di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk lebih menggugah kesadaran gereja-gereja di Indonesia akan perannya menjadi penatalayan dunia melalui berbagai cara, mis: diskusi teologis, proyek kerjasama mengenai pelestarian lingkungan hidup.
Sementara itu tantangan lain yang dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia adalah pluralisme agama. Seharusnya kenyataan ini bukanlah penghambat bagi gereja untuk menjadi penatalayan dunia, tetapi malah merupakan sebuah peluang bagi gereja-gereja di Indonesia untuk membina kerjasama dengan para pemeluk agama lain untuk bersama-sama menjadi penatalayan dunia, karena mereka pun adalah bagian dari earth habitat. Memang hal ini tidak mudah, karena harus ada kesamaan visi di antara kita. Oleh karena itu, perlu diusahakan pula "proyek penyadaran bersama" di antara para pemeluk agama.

Refleksi Teologis

Judul buletin ini adalah "Kita adalah Penatalayan Rumah yang Sama" hendak menegaskan bahwa kita semua yang hidup saat ini sebenarnya memiliki peran sebagai penatalayan bersama penatalayan yang lainnya di "rumah dunia" - yang juga tempat tinggal Allah - di mana Allah adalah Sang Kepala Rumah Tangga. Oleh karena itu, sebagai penatalayan, maka kita sebenarnya tidak berhak sepenuh-penuhnya atas ciptaan Allah yang lain - dalam hal ini lingkungan hidup dan isinya. Dalam tugas tersebut, kita harus sesuai dengan Ekonomi Allah. Kita mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk berbagi tempat dan hasil bumi dengan sesama kita dan juga dengan generasi yang akan datang di rumah kita (orientasi kehidupan yang futuris).

Saat ini perlu dikembangkan sebuah etika komunitas bagi komunitas bumi (mencakup semua yang ada, baik yang hidup maupun tidak) atau moral lingkungan hidup, karena masalah ekologi umumnya terkait dengan krisis moral. Etika ini berdasarkan pada pernyataan sederhana bahwa "semua yang ada, ada bersama"33, atau mengacu pada Teori Sistem. Dari sini diperoleh kesimpulan bahwa semua yang ada saling mempengaruhi, tanpa ada status manusia sebagai penguasa dan alam sebagai objek penguasaan, karena sampai kapan pun, manusia tidak bisa menjadi penguasa semesta. Ibarat tubuh, apabila kita tidak memelihara kesehatan tubuh kita, misalnya dengan istirahat yang teratur dan makan-minum yang baik, maka lama-kelamaan kita akan sakit. Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh bagian tubuh tertentu, tetapi juga oleh seluruh tubuh.34 Oleh karena itu, manusia - sebagai ciptaan yang berakal budi - sudah seharusnya lebih arif dalam menatalayani dunia ini. Kesadaran dan penyadaran bahwa jumlah manusia penghuni bumi semakin banyak dengan kebutuhannya yang seolah-olah tak terbatas, sedangkan sumber energi bumi yang terbatas, menuntut kita untuk benar-benar arif dalam berelasi dengan lingkungan hidup.

Kesulitan muncul ketika orientasi manusia dikuasai motif ekonomi yang profit oriented didukung faktor politik yang tidak ramah lingkungan. Di sinilah peran gereja ditantang. Apakah ia berani menjadi nabi yang memperingatkan para pemimpin (di dunia) dalam menentukan kebijakannya, ataukah justru ia kehilangan peran kenabiannya. Jika ia tidak berani, maka misi gereja, yaitu menjadi mitra pendamaian dan penciptaan Allah akan gagal. Diperlukan sebuah kerjasama dan jaringan relasi yang konsisten dan terus-menerus antara gereja dan lembaga-lembaga di dunia dalam menangani krisis lingkungan hidup dan mengkritisi kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang berkenaan dengan lingkungan hidup.

Apa yang diusahakan dalam buletin ini bukanlah sesuatu yang final, Artinya buletin ini baru menyentuh satu segi saja mengenai eko-teologi, sedangkan persoalan krisis lingkungan hidup merupakan persoalan bersama yang sangat kompleks yang harus dibahas dan ditangani bersama (meliputi berbagai bidang ilmu) pula.35
Mengakhiri refleksi ini, marilah kita menghayati syair doa berikut ini:

Goodnight God

I hope that you are having a good time being the world.
I like the world very much.
I'm glad you made the plants and trees survive with the rain and
summers.
When summer is nearly near the leaves begin to fall.
I hope you have a good time being the world.
I like how God feels around everyone in the world.
Your arms clasp around the world. I like you and your friends.
Every time I open my eyes I see the gleaming sun.
I like the animals - the deer, and us creatures of the world,the mammals.
I love my dear friends.36


______________________________
1. Kegiatan lain yang patut disinggung berkenaan gerakan penyadaran tentang pemanasan global adalah konser Live Earth yang serentak dilaksanakan di 8 negara pada tanggal 7 Juli 2007 yang lalu. Di Indonesia sendiri ada 2 momen yang perlu disinggung, yakni : Global Warming Music Concert 2007 di Kemayoran, Jakarta pada 18-19 Agustus 2007 dan Konferensi Internasional tentang Pemanasan Global di Denpasar, Bali pada Desember 2007.
2 Robert P. Borrong, "The Role of Humankind in the Environmental Crisis" dalam Robert P. Borronq, et al., (eds), Berakar di dalam Dia & Dibangun di atas Dia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hlm.156.
3 Bnd. Ibid., hlm.157.
4 Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia: Sikap Iman dan Kelestarian Lingkungan (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm.21-22.
5 Sumitro Djojohadikusumo (dan mungkin para pakar yang lain) menyatakan bahwa persoalan krisis lingkungan menimbulkan persoalan-persoalan di bidang ekonomi masyarakat yang mengandung pengaruh dan aspek politik secara bercabanq (ramifikasi politik). Sebaliknya perkembangan ekonomi dan politik - baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam hubungan antar negara sangat mempengaruhi keadaan ekologi dan lingkunqan hidup dari masyarakat yang bersangkutan. Lih. Sumitro Djojohadikusumo, "Aspek Ekonomi dan Politik sekitar Masalah Ekologi dan Lingkungan Hidup" dalam M.T. Zen (ed.), Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 70.
6 Buntaran, Op. Cit . , hlm. 23 . Bahkan sampai saat inipun Negara industri maju, misalnya USA - lewat pernyataan presidennya, George W. Bush, masih terkesan angkuh untuk mengakui bahwa mereka juga turut menyebabkan pemanasan global.
7 Disisi lain, kita patut mensyukuri upaya sejumlah pengembangan yang sudah mengedepankan pelestarian lingkungan hidup dalam megaproyek mereka.
8. Bnd.. P. M. Laksono, et al . , Perempuan di hutan Mangrove (Yoqyakarta: Galang Press, 2000), h l m.122-126.
9 Bnd. Buntaran, Op. Cit., hlm.27-33.
10 Sebagai contoh kasus adalah kisah yang disampaikan oleh Th. van den End dalam orasinya yang berjudul "Kapak Elia", yaitu ketika seorang rahib bernama Mar Elia menebang sebuah pohon yang dianggap keramat oleh penduduk Yazd. Setelah pohon itu lumbang, maka penduduk Yazd tidak perlu takut lagi terhadapnya. Lih. Th. van den End, Kapak Elia (Jakarta: Orasi Dies Natalis STT Jakarta,1976), hlm.1.
11 lbid., hlm.4-5.
12 Celia Deane – Drummond, Teologqi & Ekologi: Buku Peqangan, terj., hlm. 20
13 Bnd. William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta : Kanisius, 2001 ) ,hlm. 46.
14 Ibid. , hlm.47
15 Deane-Drummond, Op.Cit., hlm.16.
16 Chang, Op. Cit . , hlm. 48 . Bagi bangsa Israel, tanah adalah anugerah Allah. Dengan prinsip dasar tersebut., maka manusia hanya dapat memanfaatkannya untuk mengenal dan memuliakan nama Allah. Di samping aspek manusia sebagai pengelola, ada pula aspek tanqgung jawab yang erat berkaitan dalam persoalan hubungan manusia-tanah. Hubungan manusia-tanah dalam tradisi Yahudi mendapat bentuk yan9 khusus di dalam perayaan Sabat. Lih. Karel Phil Erari, "Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia: Urgensi bagi Transformasi Relasi Manusia-Tanah" dalam Setia, no.1/1997, him.46-47.
17 Ibid. , hlm. 49.
18 Ibid.
19 Ibid., hlm.49-51.
20 Pengertian ini harus dilihat dalam terang karya penyelamatan dan penebusan Allah di dalam Yesus Kristus dan sikap (respons) kita terhadap karya-Nya tersebut. Lih. Buntaran, Op.Cit., him.48.
21 Chang, Op.Cit., hlm. 51-52.
22 Ibid. , hlm. 54.
23 Borrong, Berakar..., Op.Cit., hlm.124.
24 Lih. Rasmussen, Op.Cit., hlm.91.
25 Borrong, Op. Cit . , hlm. 124 -125 . Bnd. Rasmussen, Op.Cit. , hlm . 90 yang mencatat definisi ekumene dari Shannon Jung, yaitu keseluruhan dunia yang didiami (the whole inhabited world) atau benda bulat yang didiami (the inhabited globe) .
26 Ted Peters, God - the World's Future (Minneapolis: Fortress Press 1992) sebagaimana yang di kutip oleh Borrong, ibid., hlm.125
27 Rasmussen, Op.Cit., hlm. 90
28 Ekonomi Allah dimengerti sebagai bagaimana Allah menatalayani dunia ini dengan penuh keteraturan.
29. Bnd. Rasmussen,Op. Cit. hlm. 92.
30. Permasalahan sekarang adalah, sejauh mana kesadaran tugas dan tanqqung jawab qereja ini dihayati oleh qereja-gereja di seluruh penjuru bumi . Apakah pusat perhatian gereja pada saat ini hanya terpaku pada ritus-ritus keagamaan, atau "justru sudah terguqah oleh perannya yang justru lebih luas, sebagai penatalayan dunia bersama-sama dengan Allah. Jika ritus-ritus keagamaan masih menjadi perhatian utama gereja, maka yang terjadi adalah pelanggengan krisis lingkungan hidup, karena selain gereja menjadi tidak terlibat dalam usaha penatalayanan dunia, di dalam ritus-ritus itu sendiri juga banyak digunakan berbagai jenis tanaman untuk menunjang ritus-ritus tersebut, mis: penebangan pohon cemara untuk dijadikan pohon Natal. Ritus-ritus keagamaan tersebut seharusnya dipakai oleh gereja-gereja sebagai alat penyadaran bagi warga gereja mengenai pentingnya peran kita menjadi penatalayan dunia 31 Borrong, Etika..., Op.cit., him.256.
32 Lih. Borrong, Etika..., Op.Cit., hlm.259-267.
33 Rasmussen, Op.Cit., hlm. 324.
34 Bnd. dengan 1 Kor. 12:12-31 mengenai "Banyak anggota, tetapi satu tubuh".
35 Kita patut menyambut positif adanya gerakan dan kebijakan (biasa disebut CSR : corporate social responsibility) yang mengharuskan setiap perusahaan memerhatikan lingkungan hidup , selain aspek-aspek social di dalam dan di luar perusahaan. Hal ini diperkuat dengan 10 aturan main korporasi global (Global Compact) yang dibuat PBB, di mana 3 butir di dalamnya terkait dengan lingkungan hidup.
36 Danu Baxter, dalam Earth Prayer from Around the World sebagaimana dikutip Rasmusen, ibid. , hlm.268-269